Nganjuk – Ratusan petani di Nganjuk mengalami kekecewaan yang mendalam setelah mengetahui bahwa lahan yang mereka garap selama delapan tahun terakhir secara tiba-tiba ditanami tebu oleh pihak tertentu tanpa pemberitahuan atau konsultasi. Lahan tersebut adalah milik Perhutani, tetapi petani merasa berhak atasnya karena telah mengolahnya sekian lama.
Mbah Saimin, seorang petani, mengungkapkan, "Kami memang tidak memiliki hak resmi atas lahan ini, tetapi kami sudah menggarapnya bertahun-tahun. Seharusnya ada komunikasi jika ada perubahan." Ia menambahkan, "Siapa yang akan mengganti rugi usaha kami selama ini?"
Situasi ini memicu kemarahan dan kebingungan di kalangan petani, yang merasa diabaikan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada mata pencaharian mereka. Mereka mendesak Kepala Desa untuk menjadi mediator dalam menyampaikan aspirasi mereka kepada pihak Perhutani. Harapan mereka adalah adanya dialog untuk menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak.
"Kami mohon agar Kepala Desa bisa membantu kami mencari jalan keluar," tambah Mbah Saimin, menekankan pentingnya keadilan bagi mereka yang bergantung pada lahan tersebut.
Kondisi ini juga meningkatkan ketidakpuasan di masyarakat yang khawatir akan masa depan pertanian lokal, yang selama ini menjadi andalan ekonomi. Ketidakpastian ini berpotensi memicu konflik lebih besar antara petani dan pihak Perhutani jika tidak ada langkah segera untuk menengahi masalah ini.
Ketua SLJ, Yulma, menegaskan bahwa lahan tersebut seharusnya digunakan untuk kepentingan komersial dengan sosialisasi terlebih dahulu kepada warga. "Sosialisasi penting untuk kepentingan warga, kehidupan mereka tergantung pada lahan ini," jelasnya.
Selain itu, Yulma menyoroti pelanggaran lain terkait pengelolaan lahan, seperti penanaman pohon jati yang dapat mengakibatkan bencana banjir saat hujan. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian serius dari pihak Perhutani terhadap dampak lingkungan dan sosial dari keputusan mereka.
Para petani kini menunggu tanggapan dari Perhutani dan berharap adanya pertemuan untuk mendiskusikan keluhan mereka. Jika tidak ada tindakan nyata, mereka khawatir akan kehilangan mata pencaharian dan potensi konflik yang lebih serius di masyarakat.