SUARA CYBER NEWS

Sabtu, 01 Februari 2025

Kenaikan Harga Tanah Uruk: Sopir Truk Lokal Terhimpit, Ancaman Krisis Transportasi Mengintai

 



Nganjuk,  – Kenaikan harga tanah uruk yang dilakukan pengusaha tambang galian C tanpa pemberitahuan sebelumnya membuat sopir truk lokal di Kabupaten Nganjuk berada di ambang kehancuran. Harga tanah uruk yang sebelumnya Rp 200.000 per rit kini melonjak menjadi Rp 300.000, memicu gelombang keluhan dari para sopir yang mengandalkan sektor ini sebagai sumber pendapatan utama. (31/1/2025)

Keputusan yang diambil dalam rapat asosiasi tambang ini diklaim sebagai respons terhadap meningkatnya pajak dan biaya operasional. Namun, di lapangan, dampaknya jauh lebih luas: keuntungan sopir truk semakin menipis, beban operasional meningkat, dan ancaman kerugian semakin nyata.



Pemerintah: Kenaikan Harga Tidak Menyalahi Aturan

Kepala Bidang Pengawasan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Nganjuk, Dion, menegaskan bahwa kenaikan harga tanah uruk adalah kebijakan yang sah selama sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Pajak daerah yang kami tetapkan tetap 20 persen untuk pemerintah daerah dan 5 persen untuk provinsi. Kalau pengusaha menaikkan harga, itu hak mereka, mungkin karena biaya operasional yang naik. Toh, sopir masih mendapat keuntungan dari selisih harga jual ke konsumen," jelas Dion.

Pernyataan ini menyulut reaksi keras dari para sopir, yang menilai bahwa pemerintah tidak memahami kondisi riil mereka di lapangan.

Sopir Truk: Kami yang Paling Menderita!

Yanto, salah satu sopir truk yang telah bertahun-tahun beroperasi di wilayah Nganjuk, membantah keras klaim bahwa sopir masih mendapatkan keuntungan besar. Menurutnya, realitas di lapangan sangat berbeda dengan hitungan di atas kertas.

"Jangan salah hitung! Kalau harga tanah uruk Rp 200.000, kami jual ke konsumen Rp 500.000, memang terlihat besar. Tapi dari sisa Rp 300.000 itu, kami masih harus bayar solar Rp 100.000 dan sewa truk Rp 150.000. Keuntungan bersih kami hanya Rp 50.000 per rit! Sekarang kalau harga tanah uruk naik jadi Rp 300.000, kami dapat apa? Kerugian!" ungkapnya dengan nada geram.

Selain itu, banyak sopir yang harus menyewa truk dari pemilik modal. Jika keuntungan semakin tipis, mereka bahkan tidak bisa menutup biaya sewa, yang pada akhirnya dapat memaksa mereka berhenti bekerja.

"Kami ini pekerja, bukan pemilik modal. Kalau terus ditekan seperti ini, kami bisa bangkrut!" tambahnya.

Dampak Lebih Luas: Proyek Konstruksi Bisa Terhambat

Kenaikan harga tanah uruk tidak hanya merugikan sopir truk, tetapi juga berpotensi menghambat proyek konstruksi di Nganjuk dan sekitarnya.

Dengan biaya pengangkutan yang meningkat, harga tanah uruk di tingkat konsumen juga akan ikut naik, berdampak pada proyek pembangunan jalan, perumahan, dan infrastruktur lainnya. Jika biaya pembangunan naik signifikan, bukan tidak mungkin proyek-proyek vital terhambat atau bahkan terhenti.

Seorang kontraktor lokal, Budi Santoso, (Bukan Nama Sebenarnya) mengaku kebingungan dengan lonjakan harga ini.

"Kami bergantung pada pasokan tanah uruk untuk proyek pembangunan. Kalau harga naik terlalu tinggi, biaya proyek ikut membengkak. Ini bisa mengganggu rencana pembangunan di daerah," ujarnya.

Ancaman Mogok dan Demonstrasi: Tekanan Meningkat

Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan, para sopir truk mulai membahas opsi mogok kerja dan unjuk rasa sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil ini.

"Kalau harga ini tidak diturunkan atau ada solusi dari pemerintah, kami akan turun ke jalan. Kami akan minta keadilan langsung ke Bupati!" tegas Yanto.

Para sopir menuntut agar:

  1. Harga tanah uruk dikaji ulang untuk menghindari eksploitasi terhadap sopir truk.
  2. Pemerintah daerah lebih transparan dalam kebijakan pajak dan operasional tambang.
  3. Ada regulasi yang melindungi kesejahteraan sopir truk agar tidak terus-menerus menjadi pihak yang paling dirugikan.

Jika tuntutan ini tidak ditindaklanjuti, gelombang protes kemungkinan akan semakin besar.

Kesimpulan: Perlu Solusi Cepat untuk Hindari Krisis

Kenaikan harga tanah uruk di Nganjuk bukan sekadar isu kecil, melainkan bisa berpotensi menjadi krisis yang lebih besar. Jika tidak ada solusi cepat, bukan hanya sopir truk yang akan terkena dampak, tetapi juga sektor konstruksi, ekonomi daerah, hingga proyek-proyek infrastruktur yang sedang berjalan.

Kini, bola panas ada di tangan pemerintah daerah. Akankah ada kebijakan yang lebih berpihak kepada sopir truk? Ataukah konflik ini akan semakin meluas hingga benar-benar melumpuhkan roda ekonomi daerah?

(Tim Investigasi – Suaracybernews)

 

Copyright © | SUARA CYBER NEWS