NGANJUK, — Penemuan fosil Stegodon—gajah purba raksasa dari zaman Pleistosen—di Hutan Tritik, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, kembali mengguncang dunia arkeologi. Namun di balik temuan bersejarah itu, Divisi Hukum KOTASEJUK (Komunitas Pecinta Sejarah Kabupaten Nganjuk) mengingatkan keras: setiap kelalaian dalam melindungi cagar budaya bisa berujung penjara!
Prayogo Laksono, S.H., M.H., selaku Divisi Hukum KOTASEJUK, menegaskan bahwa semua pihak—baik individu, lembaga, maupun korporasi seperti Perhutani—terikat kewajiban hukum untuk melindungi setiap temuan purbakala sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Menghalangi penyelamatan atau pelestarian fosil purba adalah pelanggaran hukum serius. Sanksinya bisa penjara sampai 15 tahun dan denda miliaran rupiah,” tegas Prayogo dalam kajian hukumnya, Selasa (7/10/2025).
Menurut Prayogo, UU Cagar Budaya secara tegas—melalui Pasal 56 hingga 59—mewajibkan semua pihak untuk turut menjaga, menyelamatkan, dan memelihara cagar budaya dari kerusakan, pemindahan ilegal, maupun kepemilikan tanpa izin.
“Pemerintah daerah dan Perhutani tidak boleh abai. Mereka punya tanggung jawab langsung melindungi fosil dari pencurian, pelapukan, hingga ancaman eksploitasi,” ujarnya.
Langkah cepat Disporabudpar Nganjuk bersama Perhutani yang mendukung ekskavasi Stegodon pun diapresiasi tinggi oleh KOTASEJUK. Menurutnya, hal itu adalah bentuk nyata pelaksanaan Pasal 59 UU Cagar Budaya—sebuah bukti bahwa pemerintah daerah telah menjalankan peran konstitusionalnya.
Prayogo juga menegaskan, amanat konstitusi jelas tertulis dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945: negara wajib memajukan kebudayaan nasional dan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara nilai budayanya.
“Negara tidak boleh diam. Pemerintah wajib menjamin agar masyarakat Nganjuk bisa menjaga warisan sejarahnya. Fosil Stegodon adalah bukti jati diri bumi Anjuk Ladang yang tak ternilai,” tegasnya.
Prayogo mengurai pasal-pasal “berbisa” dalam UU Nomor 11 Tahun 2010:
- Pasal 104: Menghalangi pelestarian cagar budaya = penjara 5 tahun dan/atau denda hingga Rp500 juta.
- Pasal 105: Merusak cagar budaya = penjara 1–15 tahun dan/atau denda Rp5 miliar.
- Pasal 114: Jika pelanggaran dilakukan oleh pejabat, hukuman bisa ditambah sepertiga dari pidana pokok.
- “Jangan main-main. Kelalaian atau pembiaran bisa dianggap pengabaian kewajiban hukum. Ini bukan sekadar soal moral, tapi soal pidana!” seru Prayogo.
Sebagai pengelola kawasan hutan, Perhutani disebut memiliki tanggung jawab langsung terhadap temuan Stegodon. Berdasarkan Pasal 57, 59, dan 61 UU Cagar Budaya, Perhutani wajib menjaga kawasan temuan dari segala ancaman.
“Hutan Tritik bukan hanya ruang konservasi alam, tapi juga ruang sejarah bangsa. Maka, Perhutani harus hadir, aktif, dan sigap mengamankan fosil tersebut,” tegasnya lagi.
Temuan Stegodon di Nganjuk kini telah berstatus ODCB (Objek Diduga Cagar Budaya) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022. Artinya, fosil tersebut telah memiliki perlindungan hukum penuh—tidak boleh dipindahkan, dijual, apalagi dimusnahkan tanpa izin resmi.
“Status ODCB menjadikan Stegodon sebagai objek hukum. Menyentuhnya tanpa izin berarti melanggar undang-undang,” ujar Prayogo.
Prayogo menutup pernyataannya dengan nada tegas dan penuh peringatan:
“Cagar budaya bukan milik segelintir orang, tapi warisan bangsa. Fosil Stegodon adalah saksi zaman yang wajib dijaga. Hukum sudah memberi dasar—tinggal keberanian kita untuk menegakkannya!” (Sr/Tim)





