Nganjuk – Masyarakat dikejutkan dengan beredarnya rekaman percakapan yang diduga melibatkan seorang guru dan wali murid di SMKN 1 Kertosono, Kabupaten Nganjuk. Dalam rekaman berdurasi beberapa menit itu, terdengar pembahasan soal “sumbangan” sekolah sebesar Rp1,5 juta per tahun.
Masalahnya, sumbangan tersebut ternyata bukan bersifat sukarela, melainkan wajib dan harus dibayar setiap tahun. Padahal, banyak wali murid mengira pembayaran itu hanya dilakukan sekali saat awal masuk sekolah.
“Dulu katanya cuma sekali, kok sekarang tiap tahun?” ujar salah satu suara yang diduga wali murid dalam rekaman tersebut.
Guru dalam percakapan itu mencoba menjelaskan bahwa pembayaran tersebut adalah program tahunan sekolah. Namun, penjelasan itu justru memunculkan pertanyaan baru: apakah pungutan itu legal dan sesuai aturan?
Ketua DPC Forum Aspirasi dan Advokasi Masyarakat (FAAM) Nganjuk, Achmad Ulinuha, menegaskan bahwa praktik tersebut diduga melanggar Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, khususnya Pasal 12, yang melarang sekolah melakukan pungutan kepada siswa maupun wali murid.
“Dalam aturan sudah jelas, sumbangan boleh dilakukan asal sukarela dan tidak mengikat. Kalau sudah ada nominal dan wajib tiap tahun, itu bukan sumbangan lagi tapi pungutan,” tegas Achmad.
FAAM berencana melaporkan dugaan pungutan wajib ini ke Kejaksaan Negeri Nganjuk. Bukti yang akan diserahkan meliputi rekaman percakapan, keterangan wali murid, serta permintaan klarifikasi kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Nganjuk.
“Kami ingin Kejari menyelidiki karena ada indikasi pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang. Kami juga akan minta dinas membuka dokumen penggunaan dana sekolah secara terbuka,” ujarnya.
Menurut FAAM, jika setiap siswa diwajibkan membayar Rp1,5 juta per tahun dan jumlah siswa mencapai ratusan, maka total dana yang terkumpul bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tanpa laporan keuangan yang transparan, dana tersebut rawan disalahgunakan.
Kasus ini sekaligus mematahkan pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur yang sempat menyebut bahwa tidak ada lagi pungutan liar di sekolah negeri.
“Fakta di SMKN 1 Kertosono membuktikan masih ada praktik pungutan berkedok sumbangan. Ini tanda bahwa pengawasan dinas masih lemah,” tambah Achmad.
FAAM meminta Dinas Pendidikan Jawa Timur segera melakukan evaluasi menyeluruh dan mewajibkan semua sekolah negeri untuk membuka laporan keuangan (RAB, SPJ, dan LPJ) secara transparan kepada publik.
“Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal kejujuran dan tanggung jawab lembaga pendidikan. Kalau sekolah negeri saja tidak transparan, bagaimana siswa bisa belajar integritas?” tutup Achmad.
Kasus dugaan pungutan di SMKN 1 Kertosono kini menjadi perhatian masyarakat. Publik menanti langkah tegas dari pihak kejaksaan dan Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk menindaklanjuti temuan ini secara nyata, bukan hanya janji di atas kertas. (Tim)